Jumat, 31 Mei 2013


SENJA DI LARANTUKA

Sesuatu yang semprnah yang ada di mata kita,yang kita puja dan sanjung-sanjung,yang kita banggakan kepada sahabat dan keluarag “akan hilang”. Tidak ada yang akan sempuranah,tetapi biarkan waktu menghadirkan yang pantas yang ditakdirkan,sebab yang sempurnah hanyalah gambaran tentang kesempurnaan yang kita impikan itu,namun Tuhan telah menemptkan yang tidak terbayangkan.maka jadilah tegar di atas wadas,jaga kakimu,dan tersenyumlah untuk hari esok. Kupersembahkan cerita ini buat Malaikatku “Malaikat Sunyi” yang ku lahirkan pada tanggal 03 April 2010.
*Menikmati senja penuh cinta with my pop @Meting Doeng Beach
Itu janjiku saat menikmati senja di Pantai Meting Doeng Beach bersama dia, sosok yang selalu terlihat sempurna di mataku, yang selalu mampu membuatku menutup mata, telinga, dsn hati dari rasa sakit karena kekurangan dan ribuan kesalahannya. Dia yang mampu buatku bertekuk lutut dibawah aturan-aturan dan kekerasan hatinya yang dia bungkus dengan cinta dan rayuan-rayuan manis dari bibir seksinya. Dia yang selalu sukses buatku menitikkan butir-butir bening dari sudut mata sipitku. Dan hanya dia yang mampu buatku tersenyum, tertawa, nyaman, bahagia, serta dalam sekejap melupakan luka-luka dihati dan ragaku. Ya, aku terpesona senyumnya yang terlukis manis di wajah yang penuh lekuk-lekuk ketampanan.
Suatu siang yang mendung di awal februari, entah berapa tahun yang lalu. Aku berjalan dengan mata tetap fokus pada rentetan huruf yang berhimpitan mesra di lembar buram yang mulai kusut. Ya ini memang hobbyku, berjalan sambil membaca atau membaca sambil berjalan? Entahlah yang aku tahu dan mulai ku sadari adalah hobby yang aku lakukan ketika kaki melangkah berjalan dan mata tetap sibuk membaca. Hahaha (Lupakan ya teman-teman).
Bruuuugh! Suaranya mengagetkanku, eh bukan tergelincir atau jatuh,tapi ada tubuh yang menimpaku yang membuatku kaget. Aku mencoba bergerak, menggeser tubuhku yang terhimpit tubuhnya. Oupz! Tubuhnya diatas tubuhku, semua bagian tubuh yang ada disisi depan kami bersentuhan, aku bisa rasakan detak jantungnya yang makin berdetak keras, aku rasakan halusnya kulit kami yang saling bergesekan, dan karbondioksida ku seolah menyatu dengan nafas yang dia hembuskan. Seketika mataku melotot memandangnya.
“Berat tauuuu, bangun donk!” Bentakku didepan mukanya (maaf, tak ada adegan romantis ala Norman Kamaru bin India-indiahe)
“Huft, ternyata masih galak aja ya! Kirain udah berubah lembut.” Gerutunya sambil cemberut
Kami berdiri, merapikan pakaian masing-masing. Aku coba sembunyikan wajahku yang melukiskan raut terkejut, aku malu kalau dia tahu ada rasa kaget campur bahagia dihatiku saat bertemu dia lagi. Dia mantan pacarku dulu. Cinta monyetku,wktu itu aku masih duduk di bangku sebuah SMK.di sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Flores,tepatnya di Larantuka.!
Kita putus komunikasi karena dia harus pindah ke Kupang, dan saat itu handphone belum marak seperti sekarang. Alhasil karena masih bocah ingusan yang polos, kandas deh cinta monyetku. Kini dia berdiri didepanku, bahkan beberapa menit yang lalu tubuhnya menghimpit tubuhku dan hanya lapisan tipis pakaian ini yang menjadi jeda. Ooooh rasanya ingin ku ulangi sekali lagi agar pertemuan kami berkesan romantis, bukan malah cemberut kaya gitu, aah sedikit menyesal (ngelantur).
Langit berhenti menitikan air matanya, pelangi terlukis pias dibentangan awan putih dengan biru cerah sebagai backgroundnya. Gumpalan awan tersenyum manis menatapku, burung-burung yang terbang rendah berkicau menggoda menyaksikan dua pipi cubby bersemu merah, nyiurpun tak henti mengolokku, dan semua mahluk hidup yang ada di Pantai Meting Doeng  seolah ikut bahagia menyaksikanku bergelayut manja dilengan cinta monyetku.
*Senja ini indah dengan dia yang kembali berdiri santai di sampingku
                                                         ***
Aku tersenyum, menertawakan ketololanku yang tak pernah sanggup berhenti mencintainya. Anganku kembali tersangkut di memori manis itu. Pertemuan pertamaku dengan dia menghasilkan pertemuan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya mungkin sampai pertemuan ke seribu. Ku lewati rentang waktu bersamanya. Melukiskan kenangan manis dan pahit, namun hanya rasa bahagia yang terus bergemuruh di rongga dadaku.
Tak perlu waktu lama untuknya dapatkan cintaku kembali, setelah beberapa hari kami habiskan waktu bersama dengan saling bercerita, dan tak lupa dia sisipkan rayuan-rayuan gombal ditiap kalimatnya. Aku sadar beberapa ceritanya hanya rekayasa, bahkan dia sengaja lenyapkan beberapa mantan pacarnya dari kisah yang sebenarnya dia lalui agar menghasilkan kesan bahwa dia tetap setia mencintaiku. Ah bulshit! Aku tahu itu hanya trik dia untuk memikatku. Padahal aku pernah dengar cerita dari temanku kalau dia sempat pacaran dengan beberapa teman sekolahku dulu. Aku tak bodoh! Tak akan semudah itu dia menipuku, tapi aku menikmatinya. Aku senang dengar rayuan manisnya yang selalu buat pipiku bersemu merah jambu.
Dia ungkapkan cintanya dengan sederhana di ujung senja, ketika aku, dia dan teman-teman bersantai di bibir pantai Meting Doeng. Aku mengangguk, menyatakan kesediaanku kembali menjadi kekasih hatinya dengan sebuah syarat “Dia mencintai dan menyayangiku sepenuh hati tanpa membaginya, karena dari kecil impianku adalah menjadi Permaisuri tanpa selir di Istana Pangeranku” Dia menyanggupi syarat yang aku ajukan, saat itu juga di atas batu yang menghadap ke laut, dia bersumpah untuk selalu mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Pasir, gulungan ombak, sepoi angin laut, lembayung senja, awan yang berarak, burung-burung yang terbang pelan, ikan-ikan yang menggoda wisatawan, batu, karang-karang terjal, pohon-pohon, hewan, dan wisatawan yang ada di pantai itu menjadi saksi sumpahnya dengan senyum manis ikut merasakan kebahagiaanku.
Awal yang manis yang selalu ku ingat, untuk menghibur hatiku,  ketika air mataku tak bisa berhenti meski telah ku seka puluhan kali. Tangis ini karenanya, hanya dia yang mampu menarik air-air bening turun dari dua kantong tempat mereka berlindung di mata sipitku.
Angan memaksaku tetap terperangkap dalam memori indah bersamanya. Membuat bibirku menyunggingkan senyum meski air mata ini tak henti mengalir, merasakan sesak dari rongga dadaku.
Dulu, pantai yang terbentang di sekitar pesisir ujung timur pulau flores, bergiliran kami datangi. Entah kenapa aku dan dia memilih pantai sebagai kanvas tempat kami melukiskan kisah cinta yang manis ini. Beberapa pantai menjadi saksi bisu, saat dia memeluk hangat tubuhku, saat jemarinya membelai lembut rambutku, saat bibirnya tak berhenti mengucapkan rayuan manis yang membuatku melayang, saat aku bermanja di pundaknya, saat dia tertidur di pangkuanku, dan saat bibir kami berpagutan mesra di ujung senja. Hanya pasir, ombak, angin, langit, matahari yang hampir tenggelam, siput, ikan, burung-burung, nyiur kelapa dan desah nafas yang semakin memburu yang menjadi saksi-saksi bisu.
Aku bahagia menjadi kekasihnya dan menikmati hari-hari bersamanya, meski bukan kemewahan yang dia tawarkan, meski bukan tumpukan uang yang dia janjikan. Gelak tawa selalu terdengar disetiap menit yang kami habiskan. Aku tak pernah mengeluh dengan kesederhanaan ini. Aku selalu merasa nyaman karena dia tetap menjagaku, menghangatkanku saat dingin mencumbu kulit halusku. Dia tak pernah bosan mendongeng untuk mengantarku menjemput mimpi dan dia pun tak pernah lelah mencium keningku saat kedua mata sipitku kembali terbuka, serta bibirnya tak pernah absen mengucapkan “Pagi sayang, Love you Mom!” tiap kali menatapku yang kembali dari alam mimpi.
***
Malam ini purnama begitu indah, seakan tangan Malaikat menabur ribuan bintang-gemintang dipermadani biru yang menggelap. Dari balik jendela kamar, ku saksikan panorama yang sangat mempesona. Rinduku kembali menggebu, andai suatu hari nanti aku bisa nikmati indahnya purnama berdua bersamanya sambil berbaring bergulung-gulung manja dipasir pantai yang basah.
Ku goreskan pena diatas selembar kertas putih. Ingin kutitipkan secarik surat pada awan dan gemintang.
Dear God, Allah dan Yesus
Tuhan, aku bahagia! Terima kasih untuk alur cerita yang telah engkau takdirkan dihidupku. Terima kasih untuk semua cinta di setiap hembusan nafasku. Aku mohon jangan ubah kebahagiaan ini. Aku ingin tetap tersenyum disampingnya, ingin tetap bermanja dipeluknya, ingin tetap merasakan desah nafasnya ditelingaku. Sumpah aku tak rela wanita lain memilikinya. Aku ingin menjadi jodohnya. Aku sangat berharap aku lah tulang rusuk yang kau ambil dari susunan tulang ditubuhnya dan hanya bersamaku lah kesempurnaan kan tercipta. Aku mencintainya dan hanya ingin hidup bersamanya.
***
Aku harap awan dan bintang gemintang sudi menyampaikan pesanku pada Tuhan, dan semoga hembusan angin malam ini tak memudarkan segumpal rindu yang ku tititpkan untuknya. Semoga Tuhan pun bersedia meng-amien’i do’a ku.
Sepoi angin membelai wajahku lembut, bagai jemari malaikat yang menyimpan ribuan kasih sayang ditiap buku-buku jarinya. Ku hirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, kembali memejamkan kedua mata sipitku, mencoba membayangkan ada pelukannya yang akan menghangatkanku. Detak jantungku semakin kencang seirama dengan desah nafas yang kian tak beraturan keluar masuk lewat kerongkonganku.
Kerlip bintang seolah menggodaku, mengajakku terbang dan menari menuju hamparan gemintang yang menyilaukan. Aku tersenyum bagai gadis kecil yang dibuai mimpi-mimpi manis.
***
Cinta suci yang selama ini aku agungkan, kesempurnaan dia yang tiap menit aku banggakan, ternyata kini menghujamku. Cinta yang ku anggap membahagiakanku ternyata perlahan semakin membunuhku. Menyayat kulit tipis yang selimuti hatiku, menusuk relung-relung cintaku dan sangat kejam mencabik mimpi-mimpi indah yang ku gantungkan bersamanya.
Dia menodai cintaku, dia nodai harapan tulusku, dan dia pun tega nodai tubuhku. Dia nodai aku yang dulu selalu di jaga. Seketika remuk rasa kagumku padanya. Dia pecundang! Banci, pengecut yang bersembunyi dibalik lekuk-lekuk ketampanan. Aku kecewa! Dan sekuat hati mencoba membencinya. Meski kenyataan yang ku dapat, aku tak pernah mampu menghapusnya dari ingatanku.
Diawal februari, entah ditahun keberapa setelahku kembali menjadi kekasihnya. Dia mengajakku berlibur ke satu kota kecil diujung timur pulau Flores. Kami menikmati liburan yang romantis ini dengan bahagia. Kemesraan selalu terpancar lewat gemulai lembut ragaku dan dia. Bak sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Senja yang indah seperti senja-senja yang telah ku lewati bersamanya. Aku masih bermanja dalam peluknya. Entah pada menit ke berapa kami bergumul mesra diatas pasir putih pantai yang masih perawan ini yang setiap harinya tak banyak wisatawan yang mengunjungi.
Nafas kami memburu merasakan gejolak yang menggebu yang kini menjalar ke seluruh tubuh lewat aliran darah dan denyut nadi. Aku sadar ini adalah dosa besar, tapi anehnya aku tetap menikmati sensasi menggelitik yang dahsyat diubun-ubunku. Ku pacu seluruh tenagaku untuk terus mendaki puncak-puncak Surga.
Ciumannya penuh nafsu yang dipenuhi para Iblis. Pelukannya menguat menghapus jeda norma yang makin samar. Jemarinya menggelitik liar membelai tiap lekuk tubuh mulusku. Sorak-sorai setan menyemangati kesesatan yang kami lakukan. Desahan dan peluh yang kami hasilkan seperti rangsangan kepada setan untuk membawa kami terbang menuju lapisan langit tertinggi sebelum melemparkan kami ke jurang Neraka penuh kenistaan.
Senja yang indah saat ini, telah ternoda oleh cairan bening yang bersemu merah, darah perawanku. Aku menangis, menyesali perubahan yang terjadi begitu cepat dihidupku. Hanya dalam hitungan menit semua berubah, namun aku tetap berharap cintanya untukku tak akan berubah dan dia tetap jadi sosok yang selalu menyayangi sebagai belahan jiwanya.
Jemarinya menyeka butir bening yang masih mengalir dari sudut mata sipitku. Lembut, tanpa nafsu yang tadi selimuti kami. Perlahan dibawanya tubuhku ke dalam pelukannya, dibelai tiap helai rambutku yang basah oleh peluh. Bibirnya mengecup keningku pelan. Seperti ada ribuan kata yang ia titipkan lewat kecupan itu. Bibirnya perlahan bergeser menuju relung telingaku dan ku dengar selarik bisiknya.
“Love you, Mom” Bisiknya hangat
“Love you too, Pop”    
***
Kini, diakhir Januari yang membosankan. Diatas sebuah meja di teras rumahku, selembar kertas violet dengan ukiran bunga dan harum melati terdampar santai tak tersentuh. Sebuah undangan pernikahan yang mengukir nama mempelai pria “aryeL Adoona”.
Dia kekasihku, belahan jiwaku, lelaki yang selalu ku harapkan menjadi jodohku, mahluk Tuhan yang paling tampan yang sangat ku cintai dan telah ku anggap sebagai suamiku. Kini menghianatiku! Dia menikahi seorang wanita bernama “Amelia Maria Khatarina” seorang wanita yang dipilihkan orang tuanya.
Hatiku remuk, cintaku hancur. Dan ku tahu Tuhan tak mengamini do’aku dalam pesan yang ku tulis untuk-Nya saat malam purnama tempo hari, atau awan dan gemintang tak menyampaikan sepucuk suratku pada Tuhan? Aku kecewa, kenapa  bahagiaku semu? Padahal sakit yang mendera hidupku sejak 13tahun terakhir ini kekal. Tak sayang kah Tuhan padaku? Atau memang takdir yang tak adil yang setia menemaniku? Entahlah, aku terlalu bodoh untuk mengeja makna yang tersirat dalam hidupku.
Di senja yang tetap indah dengan kemilau lembayung. Aku menutup sebuah buku yang makin usang, telah cukup banyak penaku  menorehkan cerita cinta aku dan dia. Aku diam menahan sakit yang kembali mendera kepalaku. Aku tersenyum, ketika sadar dan aku ingat dari fajar terbit hingga senja terbentang di cakrawala ini sebutir obat pun belum aku telan, padahal menurut Malaikat yang sering disebut Dokter itu, setiap selang 5 jam harus ada 6 butir obat yang masuk lewat tenggorokanku.
Aku terpejam. Melayang meninggalkan tubuh rentaku. Bukan karena termakan usia tapi karena cinta palsu dia dan penyakit sialan yang setia bersemayam di kepalaku.
Hamparan pasir  putih ditepian pantai semakin jauh dibawahku. Raga yang selama 20 tahun ini menjadi tempat roh ku berlindung, kini tergeletak tak bernafas di bentangan putih bibir pantai Meting Doeng, dengan seulas senyum manis yang dulu memikat semua mahluk Tuhan yang memandangnya. Malaikat bersayap membawa ku terbang menembus kemilau lembayung yang menghias langit senja.
“Selamat tinggal sayang… terima kasih atas cinta yang pernah kau berikan, untuk bahagia yang selalu kau ciptakan saat bersamaku dulu, dan untuk penghianatan yang dah kau lakukan, untuk sakit dan kecewa yang kau ajarkan. Kini aku terbang bersama Malaikat, aku tetap setia menunggumu di Surga. Love you pop…..”
***The End with Love***
#Hanya sebuah catatan untuk Cinta monyetku yang kembali menjadi CLBK-ku dan kini menjelma menjadi cinta mati ku yang perlahan membunuh perasaanku. Just for my pop, ‘aryeL adN
*13 Januari 2012
Korban cinta palsumu
            MELAND


SENJA DI LARANTUKA

Sesuatu yang semprnah yang ada di mata kita,yang kita puja dan sanjung-sanjung,yang kita banggakan kepada sahabat dan keluarag “akan hilang”. Tidak ada yang akan sempuranah,tetapi biarkan waktu menghadirkan yang pantas yang ditakdirkan,sebab yang sempurnah hanyalah gambaran tentang kesempurnaan yang kita impikan itu,namun Tuhan telah menemptkan yang tidak terbayangkan.maka jadilah tegar di atas wadas,jaga kakimu,dan tersenyumlah untuk hari esok. Kupersembahkan cerita ini buat Malaikatku “Malaikat Sunyi” yang ku lahirkan pada tanggal 03 April 2010.
*Menikmati senja penuh cinta with my pop @Meting Doeng Beach
Itu janjiku saat menikmati senja di Pantai Meting Doeng Beach bersama dia, sosok yang selalu terlihat sempurna di mataku, yang selalu mampu membuatku menutup mata, telinga, dsn hati dari rasa sakit karena kekurangan dan ribuan kesalahannya. Dia yang mampu buatku bertekuk lutut dibawah aturan-aturan dan kekerasan hatinya yang dia bungkus dengan cinta dan rayuan-rayuan manis dari bibir seksinya. Dia yang selalu sukses buatku menitikkan butir-butir bening dari sudut mata sipitku. Dan hanya dia yang mampu buatku tersenyum, tertawa, nyaman, bahagia, serta dalam sekejap melupakan luka-luka dihati dan ragaku. Ya, aku terpesona senyumnya yang terlukis manis di wajah yang penuh lekuk-lekuk ketampanan.
Suatu siang yang mendung di awal februari, entah berapa tahun yang lalu. Aku berjalan dengan mata tetap fokus pada rentetan huruf yang berhimpitan mesra di lembar buram yang mulai kusut. Ya ini memang hobbyku, berjalan sambil membaca atau membaca sambil berjalan? Entahlah yang aku tahu dan mulai ku sadari adalah hobby yang aku lakukan ketika kaki melangkah berjalan dan mata tetap sibuk membaca. Hahaha (Lupakan ya teman-teman).
Bruuuugh! Suaranya mengagetkanku, eh bukan tergelincir atau jatuh,tapi ada tubuh yang menimpaku yang membuatku kaget. Aku mencoba bergerak, menggeser tubuhku yang terhimpit tubuhnya. Oupz! Tubuhnya diatas tubuhku, semua bagian tubuh yang ada disisi depan kami bersentuhan, aku bisa rasakan detak jantungnya yang makin berdetak keras, aku rasakan halusnya kulit kami yang saling bergesekan, dan karbondioksida ku seolah menyatu dengan nafas yang dia hembuskan. Seketika mataku melotot memandangnya.
“Berat tauuuu, bangun donk!” Bentakku didepan mukanya (maaf, tak ada adegan romantis ala Norman Kamaru bin India-indiahe)
“Huft, ternyata masih galak aja ya! Kirain udah berubah lembut.” Gerutunya sambil cemberut
Kami berdiri, merapikan pakaian masing-masing. Aku coba sembunyikan wajahku yang melukiskan raut terkejut, aku malu kalau dia tahu ada rasa kaget campur bahagia dihatiku saat bertemu dia lagi. Dia mantan pacarku dulu. Cinta monyetku,wktu itu aku masih duduk di bangku sebuah SMK.di sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Flores,tepatnya di Larantuka.!
Kita putus komunikasi karena dia harus pindah ke Kupang, dan saat itu handphone belum marak seperti sekarang. Alhasil karena masih bocah ingusan yang polos, kandas deh cinta monyetku. Kini dia berdiri didepanku, bahkan beberapa menit yang lalu tubuhnya menghimpit tubuhku dan hanya lapisan tipis pakaian ini yang menjadi jeda. Ooooh rasanya ingin ku ulangi sekali lagi agar pertemuan kami berkesan romantis, bukan malah cemberut kaya gitu, aah sedikit menyesal (ngelantur).
Langit berhenti menitikan air matanya, pelangi terlukis pias dibentangan awan putih dengan biru cerah sebagai backgroundnya. Gumpalan awan tersenyum manis menatapku, burung-burung yang terbang rendah berkicau menggoda menyaksikan dua pipi cubby bersemu merah, nyiurpun tak henti mengolokku, dan semua mahluk hidup yang ada di Pantai Meting Doeng  seolah ikut bahagia menyaksikanku bergelayut manja dilengan cinta monyetku.
*Senja ini indah dengan dia yang kembali berdiri santai di sampingku
                                                         ***
Aku tersenyum, menertawakan ketololanku yang tak pernah sanggup berhenti mencintainya. Anganku kembali tersangkut di memori manis itu. Pertemuan pertamaku dengan dia menghasilkan pertemuan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya mungkin sampai pertemuan ke seribu. Ku lewati rentang waktu bersamanya. Melukiskan kenangan manis dan pahit, namun hanya rasa bahagia yang terus bergemuruh di rongga dadaku.
Tak perlu waktu lama untuknya dapatkan cintaku kembali, setelah beberapa hari kami habiskan waktu bersama dengan saling bercerita, dan tak lupa dia sisipkan rayuan-rayuan gombal ditiap kalimatnya. Aku sadar beberapa ceritanya hanya rekayasa, bahkan dia sengaja lenyapkan beberapa mantan pacarnya dari kisah yang sebenarnya dia lalui agar menghasilkan kesan bahwa dia tetap setia mencintaiku. Ah bulshit! Aku tahu itu hanya trik dia untuk memikatku. Padahal aku pernah dengar cerita dari temanku kalau dia sempat pacaran dengan beberapa teman sekolahku dulu. Aku tak bodoh! Tak akan semudah itu dia menipuku, tapi aku menikmatinya. Aku senang dengar rayuan manisnya yang selalu buat pipiku bersemu merah jambu.
Dia ungkapkan cintanya dengan sederhana di ujung senja, ketika aku, dia dan teman-teman bersantai di bibir pantai Meting Doeng. Aku mengangguk, menyatakan kesediaanku kembali menjadi kekasih hatinya dengan sebuah syarat “Dia mencintai dan menyayangiku sepenuh hati tanpa membaginya, karena dari kecil impianku adalah menjadi Permaisuri tanpa selir di Istana Pangeranku” Dia menyanggupi syarat yang aku ajukan, saat itu juga di atas batu yang menghadap ke laut, dia bersumpah untuk selalu mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Pasir, gulungan ombak, sepoi angin laut, lembayung senja, awan yang berarak, burung-burung yang terbang pelan, ikan-ikan yang menggoda wisatawan, batu, karang-karang terjal, pohon-pohon, hewan, dan wisatawan yang ada di pantai itu menjadi saksi sumpahnya dengan senyum manis ikut merasakan kebahagiaanku.
Awal yang manis yang selalu ku ingat, untuk menghibur hatiku,  ketika air mataku tak bisa berhenti meski telah ku seka puluhan kali. Tangis ini karenanya, hanya dia yang mampu menarik air-air bening turun dari dua kantong tempat mereka berlindung di mata sipitku.
Angan memaksaku tetap terperangkap dalam memori indah bersamanya. Membuat bibirku menyunggingkan senyum meski air mata ini tak henti mengalir, merasakan sesak dari rongga dadaku.
Dulu, pantai yang terbentang di sekitar pesisir ujung timur pulau flores, bergiliran kami datangi. Entah kenapa aku dan dia memilih pantai sebagai kanvas tempat kami melukiskan kisah cinta yang manis ini. Beberapa pantai menjadi saksi bisu, saat dia memeluk hangat tubuhku, saat jemarinya membelai lembut rambutku, saat bibirnya tak berhenti mengucapkan rayuan manis yang membuatku melayang, saat aku bermanja di pundaknya, saat dia tertidur di pangkuanku, dan saat bibir kami berpagutan mesra di ujung senja. Hanya pasir, ombak, angin, langit, matahari yang hampir tenggelam, siput, ikan, burung-burung, nyiur kelapa dan desah nafas yang semakin memburu yang menjadi saksi-saksi bisu.
Aku bahagia menjadi kekasihnya dan menikmati hari-hari bersamanya, meski bukan kemewahan yang dia tawarkan, meski bukan tumpukan uang yang dia janjikan. Gelak tawa selalu terdengar disetiap menit yang kami habiskan. Aku tak pernah mengeluh dengan kesederhanaan ini. Aku selalu merasa nyaman karena dia tetap menjagaku, menghangatkanku saat dingin mencumbu kulit halusku. Dia tak pernah bosan mendongeng untuk mengantarku menjemput mimpi dan dia pun tak pernah lelah mencium keningku saat kedua mata sipitku kembali terbuka, serta bibirnya tak pernah absen mengucapkan “Pagi sayang, Love you Mom!” tiap kali menatapku yang kembali dari alam mimpi.
***
Malam ini purnama begitu indah, seakan tangan Malaikat menabur ribuan bintang-gemintang dipermadani biru yang menggelap. Dari balik jendela kamar, ku saksikan panorama yang sangat mempesona. Rinduku kembali menggebu, andai suatu hari nanti aku bisa nikmati indahnya purnama berdua bersamanya sambil berbaring bergulung-gulung manja dipasir pantai yang basah.
Ku goreskan pena diatas selembar kertas putih. Ingin kutitipkan secarik surat pada awan dan gemintang.
Dear God, Allah dan Yesus
Tuhan, aku bahagia! Terima kasih untuk alur cerita yang telah engkau takdirkan dihidupku. Terima kasih untuk semua cinta di setiap hembusan nafasku. Aku mohon jangan ubah kebahagiaan ini. Aku ingin tetap tersenyum disampingnya, ingin tetap bermanja dipeluknya, ingin tetap merasakan desah nafasnya ditelingaku. Sumpah aku tak rela wanita lain memilikinya. Aku ingin menjadi jodohnya. Aku sangat berharap aku lah tulang rusuk yang kau ambil dari susunan tulang ditubuhnya dan hanya bersamaku lah kesempurnaan kan tercipta. Aku mencintainya dan hanya ingin hidup bersamanya.
***
Aku harap awan dan bintang gemintang sudi menyampaikan pesanku pada Tuhan, dan semoga hembusan angin malam ini tak memudarkan segumpal rindu yang ku tititpkan untuknya. Semoga Tuhan pun bersedia meng-amien’i do’a ku.
Sepoi angin membelai wajahku lembut, bagai jemari malaikat yang menyimpan ribuan kasih sayang ditiap buku-buku jarinya. Ku hirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, kembali memejamkan kedua mata sipitku, mencoba membayangkan ada pelukannya yang akan menghangatkanku. Detak jantungku semakin kencang seirama dengan desah nafas yang kian tak beraturan keluar masuk lewat kerongkonganku.
Kerlip bintang seolah menggodaku, mengajakku terbang dan menari menuju hamparan gemintang yang menyilaukan. Aku tersenyum bagai gadis kecil yang dibuai mimpi-mimpi manis.
***
Cinta suci yang selama ini aku agungkan, kesempurnaan dia yang tiap menit aku banggakan, ternyata kini menghujamku. Cinta yang ku anggap membahagiakanku ternyata perlahan semakin membunuhku. Menyayat kulit tipis yang selimuti hatiku, menusuk relung-relung cintaku dan sangat kejam mencabik mimpi-mimpi indah yang ku gantungkan bersamanya.
Dia menodai cintaku, dia nodai harapan tulusku, dan dia pun tega nodai tubuhku. Dia nodai aku yang dulu selalu di jaga. Seketika remuk rasa kagumku padanya. Dia pecundang! Banci, pengecut yang bersembunyi dibalik lekuk-lekuk ketampanan. Aku kecewa! Dan sekuat hati mencoba membencinya. Meski kenyataan yang ku dapat, aku tak pernah mampu menghapusnya dari ingatanku.
Diawal februari, entah ditahun keberapa setelahku kembali menjadi kekasihnya. Dia mengajakku berlibur ke satu kota kecil diujung timur pulau Flores. Kami menikmati liburan yang romantis ini dengan bahagia. Kemesraan selalu terpancar lewat gemulai lembut ragaku dan dia. Bak sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Senja yang indah seperti senja-senja yang telah ku lewati bersamanya. Aku masih bermanja dalam peluknya. Entah pada menit ke berapa kami bergumul mesra diatas pasir putih pantai yang masih perawan ini yang setiap harinya tak banyak wisatawan yang mengunjungi.
Nafas kami memburu merasakan gejolak yang menggebu yang kini menjalar ke seluruh tubuh lewat aliran darah dan denyut nadi. Aku sadar ini adalah dosa besar, tapi anehnya aku tetap menikmati sensasi menggelitik yang dahsyat diubun-ubunku. Ku pacu seluruh tenagaku untuk terus mendaki puncak-puncak Surga.
Ciumannya penuh nafsu yang dipenuhi para Iblis. Pelukannya menguat menghapus jeda norma yang makin samar. Jemarinya menggelitik liar membelai tiap lekuk tubuh mulusku. Sorak-sorai setan menyemangati kesesatan yang kami lakukan. Desahan dan peluh yang kami hasilkan seperti rangsangan kepada setan untuk membawa kami terbang menuju lapisan langit tertinggi sebelum melemparkan kami ke jurang Neraka penuh kenistaan.
Senja yang indah saat ini, telah ternoda oleh cairan bening yang bersemu merah, darah perawanku. Aku menangis, menyesali perubahan yang terjadi begitu cepat dihidupku. Hanya dalam hitungan menit semua berubah, namun aku tetap berharap cintanya untukku tak akan berubah dan dia tetap jadi sosok yang selalu menyayangi sebagai belahan jiwanya.
Jemarinya menyeka butir bening yang masih mengalir dari sudut mata sipitku. Lembut, tanpa nafsu yang tadi selimuti kami. Perlahan dibawanya tubuhku ke dalam pelukannya, dibelai tiap helai rambutku yang basah oleh peluh. Bibirnya mengecup keningku pelan. Seperti ada ribuan kata yang ia titipkan lewat kecupan itu. Bibirnya perlahan bergeser menuju relung telingaku dan ku dengar selarik bisiknya.
“Love you, Mom” Bisiknya hangat
“Love you too, Pop”    
***
Kini, diakhir Januari yang membosankan. Diatas sebuah meja di teras rumahku, selembar kertas violet dengan ukiran bunga dan harum melati terdampar santai tak tersentuh. Sebuah undangan pernikahan yang mengukir nama mempelai pria “aryeL Adoona”.
Dia kekasihku, belahan jiwaku, lelaki yang selalu ku harapkan menjadi jodohku, mahluk Tuhan yang paling tampan yang sangat ku cintai dan telah ku anggap sebagai suamiku. Kini menghianatiku! Dia menikahi seorang wanita bernama “Amelia Maria Khatarina” seorang wanita yang dipilihkan orang tuanya.
Hatiku remuk, cintaku hancur. Dan ku tahu Tuhan tak mengamini do’aku dalam pesan yang ku tulis untuk-Nya saat malam purnama tempo hari, atau awan dan gemintang tak menyampaikan sepucuk suratku pada Tuhan? Aku kecewa, kenapa  bahagiaku semu? Padahal sakit yang mendera hidupku sejak 13tahun terakhir ini kekal. Tak sayang kah Tuhan padaku? Atau memang takdir yang tak adil yang setia menemaniku? Entahlah, aku terlalu bodoh untuk mengeja makna yang tersirat dalam hidupku.
Di senja yang tetap indah dengan kemilau lembayung. Aku menutup sebuah buku yang makin usang, telah cukup banyak penaku  menorehkan cerita cinta aku dan dia. Aku diam menahan sakit yang kembali mendera kepalaku. Aku tersenyum, ketika sadar dan aku ingat dari fajar terbit hingga senja terbentang di cakrawala ini sebutir obat pun belum aku telan, padahal menurut Malaikat yang sering disebut Dokter itu, setiap selang 5 jam harus ada 6 butir obat yang masuk lewat tenggorokanku.
Aku terpejam. Melayang meninggalkan tubuh rentaku. Bukan karena termakan usia tapi karena cinta palsu dia dan penyakit sialan yang setia bersemayam di kepalaku.
Hamparan pasir  putih ditepian pantai semakin jauh dibawahku. Raga yang selama 20 tahun ini menjadi tempat roh ku berlindung, kini tergeletak tak bernafas di bentangan putih bibir pantai Meting Doeng, dengan seulas senyum manis yang dulu memikat semua mahluk Tuhan yang memandangnya. Malaikat bersayap membawa ku terbang menembus kemilau lembayung yang menghias langit senja.
“Selamat tinggal sayang… terima kasih atas cinta yang pernah kau berikan, untuk bahagia yang selalu kau ciptakan saat bersamaku dulu, dan untuk penghianatan yang dah kau lakukan, untuk sakit dan kecewa yang kau ajarkan. Kini aku terbang bersama Malaikat, aku tetap setia menunggumu di Surga. Love you pop…..”
***The End with Love***
#Hanya sebuah catatan untuk Cinta monyetku yang kembali menjadi CLBK-ku dan kini menjelma menjadi cinta mati ku yang perlahan membunuh perasaanku. Just for my pop, ‘aryeL adN
*13 Januari 2012
Korban cinta palsumu
            MELAND