SENJA
DI LARANTUKA
Rabu, 12 Juni 2013
Jumat, 31 Mei 2013
SENJA
DI LARANTUKA
Sesuatu
yang semprnah yang ada di mata kita,yang kita puja dan sanjung-sanjung,yang
kita banggakan kepada sahabat dan keluarag “akan hilang”. Tidak ada yang akan
sempuranah,tetapi biarkan waktu menghadirkan yang pantas yang
ditakdirkan,sebab yang sempurnah hanyalah gambaran tentang kesempurnaan yang
kita impikan itu,namun Tuhan telah menemptkan yang tidak terbayangkan.maka
jadilah tegar di atas wadas,jaga kakimu,dan tersenyumlah untuk hari esok.
Kupersembahkan cerita ini buat Malaikatku “Malaikat Sunyi” yang ku lahirkan
pada tanggal 03 April 2010.
*Menikmati senja penuh cinta with my pop @Meting Doeng Beach
Itu janjiku saat menikmati senja di Pantai Meting Doeng Beach bersama dia, sosok yang selalu
terlihat sempurna di mataku, yang selalu mampu membuatku menutup mata, telinga,
dsn hati dari rasa sakit karena kekurangan dan ribuan kesalahannya. Dia yang
mampu buatku bertekuk lutut dibawah aturan-aturan dan kekerasan hatinya yang
dia bungkus dengan cinta dan rayuan-rayuan manis dari bibir seksinya. Dia yang
selalu sukses buatku menitikkan butir-butir bening dari sudut mata sipitku. Dan
hanya dia yang mampu buatku tersenyum, tertawa, nyaman, bahagia, serta dalam
sekejap melupakan luka-luka dihati dan ragaku. Ya, aku terpesona senyumnya yang
terlukis manis di wajah yang penuh lekuk-lekuk ketampanan.
Suatu siang yang mendung di awal februari, entah berapa tahun yang lalu.
Aku berjalan dengan mata tetap fokus pada rentetan huruf yang berhimpitan mesra
di lembar buram yang mulai kusut. Ya ini memang hobbyku, berjalan sambil
membaca atau membaca sambil berjalan? Entahlah yang aku tahu dan mulai ku
sadari adalah hobby yang aku lakukan ketika kaki melangkah berjalan dan mata
tetap sibuk membaca. Hahaha (Lupakan ya teman-teman).
Bruuuugh! Suaranya mengagetkanku, eh bukan tergelincir atau jatuh,tapi ada tubuh yang menimpaku yang membuatku
kaget. Aku mencoba bergerak, menggeser tubuhku yang terhimpit tubuhnya. Oupz!
Tubuhnya diatas tubuhku, semua bagian tubuh yang ada disisi depan kami
bersentuhan, aku bisa rasakan detak jantungnya yang makin berdetak keras, aku
rasakan halusnya kulit kami yang saling bergesekan, dan karbondioksida ku
seolah menyatu dengan nafas yang dia hembuskan. Seketika mataku melotot
memandangnya.
“Berat tauuuu, bangun donk!” Bentakku didepan mukanya (maaf, tak ada
adegan romantis ala Norman Kamaru bin India-indiahe)
“Huft, ternyata masih galak aja ya! Kirain udah berubah lembut.” Gerutunya
sambil cemberut
Kami berdiri, merapikan pakaian masing-masing. Aku coba sembunyikan
wajahku yang melukiskan raut terkejut, aku malu kalau dia tahu ada rasa kaget
campur bahagia dihatiku saat bertemu dia lagi. Dia mantan pacarku dulu. Cinta
monyetku,wktu
itu aku masih duduk di bangku sebuah SMK.di sebuah kota kecil di ujung timur
Pulau Flores,tepatnya di Larantuka.!
Kita putus komunikasi karena dia harus pindah ke Kupang, dan saat itu handphone belum marak seperti
sekarang. Alhasil karena masih bocah ingusan yang polos, kandas deh cinta
monyetku. Kini dia berdiri didepanku, bahkan beberapa menit yang lalu tubuhnya
menghimpit tubuhku dan hanya lapisan tipis pakaian ini yang menjadi jeda. Ooooh
rasanya ingin ku ulangi sekali lagi agar pertemuan kami berkesan romantis,
bukan malah cemberut kaya gitu, aah sedikit menyesal (ngelantur).
Langit berhenti menitikan air matanya, pelangi terlukis pias dibentangan
awan putih dengan biru cerah sebagai backgroundnya. Gumpalan awan tersenyum
manis menatapku, burung-burung yang terbang rendah berkicau menggoda
menyaksikan dua pipi cubby bersemu merah, nyiurpun tak henti mengolokku, dan
semua mahluk hidup yang ada di Pantai Meting Doeng seolah ikut
bahagia menyaksikanku bergelayut manja dilengan cinta monyetku.
*Senja ini indah dengan dia yang kembali berdiri santai di sampingku
***
Aku tersenyum, menertawakan ketololanku yang tak pernah sanggup berhenti
mencintainya. Anganku kembali tersangkut di memori manis itu. Pertemuan
pertamaku dengan dia menghasilkan pertemuan kedua, ketiga, keempat dan
seterusnya mungkin sampai pertemuan ke seribu. Ku lewati rentang waktu
bersamanya. Melukiskan kenangan manis dan pahit, namun hanya rasa bahagia yang
terus bergemuruh di rongga dadaku.
Tak perlu waktu lama untuknya dapatkan cintaku kembali, setelah beberapa
hari kami habiskan waktu bersama dengan saling bercerita, dan tak lupa dia
sisipkan rayuan-rayuan gombal ditiap kalimatnya. Aku sadar beberapa ceritanya
hanya rekayasa, bahkan dia sengaja lenyapkan beberapa mantan pacarnya dari
kisah yang sebenarnya dia lalui agar menghasilkan kesan bahwa dia tetap setia
mencintaiku. Ah bulshit! Aku tahu itu hanya trik dia untuk memikatku. Padahal
aku pernah dengar cerita dari temanku kalau dia sempat pacaran dengan beberapa
teman sekolahku dulu. Aku tak bodoh! Tak akan semudah itu dia menipuku, tapi aku
menikmatinya. Aku senang dengar rayuan manisnya yang selalu buat pipiku bersemu
merah jambu.
Dia ungkapkan cintanya dengan sederhana di ujung senja, ketika aku, dia
dan teman-teman bersantai di bibir pantai Meting Doeng. Aku mengangguk, menyatakan kesediaanku kembali menjadi
kekasih hatinya dengan sebuah syarat “Dia mencintai dan menyayangiku sepenuh
hati tanpa membaginya, karena dari kecil impianku adalah menjadi Permaisuri
tanpa selir di Istana Pangeranku” Dia menyanggupi syarat yang aku ajukan, saat
itu juga di atas batu yang menghadap ke laut, dia bersumpah untuk selalu
mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Pasir, gulungan ombak, sepoi angin laut,
lembayung senja, awan yang berarak, burung-burung yang terbang pelan, ikan-ikan
yang menggoda wisatawan, batu, karang-karang terjal, pohon-pohon, hewan, dan
wisatawan yang ada di pantai itu menjadi saksi sumpahnya dengan senyum manis
ikut merasakan kebahagiaanku.
Awal yang manis yang selalu ku ingat, untuk menghibur hatiku, ketika
air mataku tak bisa berhenti meski telah ku seka puluhan kali. Tangis ini
karenanya, hanya dia yang mampu menarik air-air bening turun dari dua kantong
tempat mereka berlindung di mata sipitku.
Angan memaksaku tetap terperangkap dalam memori indah bersamanya. Membuat
bibirku menyunggingkan senyum meski air mata ini tak henti mengalir, merasakan
sesak dari rongga dadaku.
Dulu, pantai yang terbentang di sekitar pesisir ujung timur pulau flores, bergiliran kami datangi. Entah kenapa aku dan dia
memilih pantai sebagai kanvas tempat kami melukiskan kisah cinta yang manis
ini. Beberapa pantai menjadi saksi bisu, saat dia memeluk hangat tubuhku, saat
jemarinya membelai lembut rambutku, saat bibirnya tak berhenti mengucapkan
rayuan manis yang membuatku melayang, saat aku bermanja di pundaknya, saat dia
tertidur di pangkuanku, dan saat bibir kami berpagutan mesra di ujung senja.
Hanya pasir, ombak, angin, langit, matahari yang hampir tenggelam, siput, ikan,
burung-burung, nyiur kelapa dan desah nafas yang semakin memburu yang menjadi
saksi-saksi bisu.
Aku bahagia menjadi kekasihnya dan menikmati hari-hari bersamanya, meski
bukan kemewahan yang dia tawarkan, meski bukan tumpukan uang yang dia janjikan.
Gelak tawa selalu terdengar disetiap menit yang kami habiskan. Aku tak pernah
mengeluh dengan kesederhanaan ini. Aku selalu merasa nyaman karena dia tetap
menjagaku, menghangatkanku saat dingin mencumbu kulit halusku. Dia tak pernah
bosan mendongeng untuk mengantarku menjemput mimpi dan dia pun tak pernah lelah
mencium keningku saat kedua mata sipitku kembali terbuka, serta bibirnya tak
pernah absen mengucapkan “Pagi sayang, Love you Mom!” tiap kali menatapku yang
kembali dari alam mimpi.
***
Malam ini purnama begitu indah, seakan tangan Malaikat menabur ribuan
bintang-gemintang dipermadani biru yang menggelap. Dari balik jendela kamar, ku
saksikan panorama yang sangat mempesona. Rinduku kembali menggebu, andai suatu
hari nanti aku bisa nikmati indahnya purnama berdua bersamanya sambil berbaring
bergulung-gulung manja dipasir pantai yang basah.
Ku goreskan pena diatas selembar kertas putih. Ingin kutitipkan secarik
surat pada awan dan gemintang.
Dear God, Allah dan
Yesus
Tuhan, aku bahagia! Terima kasih untuk alur cerita yang telah engkau
takdirkan dihidupku. Terima kasih untuk semua cinta di setiap hembusan nafasku.
Aku mohon jangan ubah kebahagiaan ini. Aku ingin tetap tersenyum disampingnya,
ingin tetap bermanja dipeluknya, ingin tetap merasakan desah nafasnya
ditelingaku. Sumpah aku tak rela wanita lain memilikinya. Aku ingin menjadi
jodohnya. Aku sangat berharap aku lah tulang rusuk yang kau ambil dari susunan
tulang ditubuhnya dan hanya bersamaku lah kesempurnaan kan tercipta. Aku
mencintainya dan hanya ingin hidup bersamanya.
***
Aku harap awan dan bintang gemintang sudi menyampaikan pesanku pada Tuhan,
dan semoga hembusan angin malam ini tak memudarkan segumpal rindu yang ku
tititpkan untuknya. Semoga Tuhan pun bersedia meng-amien’i do’a ku.
Sepoi angin membelai wajahku lembut, bagai jemari malaikat yang menyimpan
ribuan kasih sayang ditiap buku-buku jarinya. Ku hirup nafas dalam dan
menghembuskannya dengan perlahan, kembali memejamkan kedua mata sipitku,
mencoba membayangkan ada pelukannya yang akan menghangatkanku. Detak jantungku
semakin kencang seirama dengan desah nafas yang kian tak beraturan keluar masuk
lewat kerongkonganku.
Kerlip bintang seolah menggodaku, mengajakku terbang dan menari menuju
hamparan gemintang yang menyilaukan. Aku tersenyum bagai gadis kecil yang
dibuai mimpi-mimpi manis.
***
Cinta suci yang selama ini aku agungkan, kesempurnaan dia yang tiap menit
aku banggakan, ternyata kini menghujamku. Cinta yang ku anggap membahagiakanku
ternyata perlahan semakin membunuhku. Menyayat kulit tipis yang selimuti
hatiku, menusuk relung-relung cintaku dan sangat kejam mencabik mimpi-mimpi
indah yang ku gantungkan bersamanya.
Dia menodai cintaku, dia nodai harapan tulusku, dan dia pun tega nodai
tubuhku. Dia nodai aku yang dulu selalu di jaga. Seketika remuk rasa kagumku
padanya. Dia pecundang! Banci, pengecut yang bersembunyi dibalik lekuk-lekuk
ketampanan. Aku kecewa! Dan sekuat hati mencoba membencinya. Meski kenyataan
yang ku dapat, aku tak pernah mampu menghapusnya dari ingatanku.
Diawal februari, entah ditahun keberapa setelahku kembali menjadi
kekasihnya. Dia mengajakku berlibur ke satu kota kecil diujung timur pulau Flores. Kami menikmati liburan yang
romantis ini dengan bahagia. Kemesraan selalu terpancar lewat gemulai lembut
ragaku dan dia. Bak sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Senja yang indah seperti senja-senja yang telah ku lewati bersamanya. Aku
masih bermanja dalam peluknya. Entah pada menit ke berapa kami bergumul mesra
diatas pasir putih pantai yang masih perawan ini yang setiap harinya tak banyak
wisatawan yang mengunjungi.
Nafas kami memburu merasakan gejolak yang menggebu yang kini menjalar ke
seluruh tubuh lewat aliran darah dan denyut nadi. Aku sadar ini adalah dosa
besar, tapi anehnya aku tetap menikmati sensasi menggelitik yang dahsyat
diubun-ubunku. Ku pacu seluruh tenagaku untuk terus mendaki puncak-puncak
Surga.
Ciumannya penuh nafsu yang dipenuhi para Iblis. Pelukannya menguat
menghapus jeda norma yang makin samar. Jemarinya menggelitik liar membelai tiap
lekuk tubuh mulusku. Sorak-sorai setan menyemangati kesesatan yang kami
lakukan. Desahan dan peluh yang kami hasilkan seperti rangsangan kepada setan
untuk membawa kami terbang menuju lapisan langit tertinggi sebelum melemparkan
kami ke jurang Neraka penuh kenistaan.
Senja yang indah saat ini, telah ternoda oleh cairan bening yang bersemu
merah, darah perawanku. Aku menangis, menyesali perubahan yang terjadi begitu
cepat dihidupku. Hanya dalam hitungan menit semua berubah, namun aku tetap
berharap cintanya untukku tak akan berubah dan dia tetap jadi sosok yang selalu
menyayangi sebagai belahan jiwanya.
Jemarinya menyeka butir bening yang masih mengalir dari sudut mata
sipitku. Lembut, tanpa nafsu yang tadi selimuti kami. Perlahan dibawanya
tubuhku ke dalam pelukannya, dibelai tiap helai rambutku yang basah oleh peluh.
Bibirnya mengecup keningku pelan. Seperti ada ribuan kata yang ia titipkan
lewat kecupan itu. Bibirnya perlahan bergeser menuju relung telingaku dan ku
dengar selarik bisiknya.
“Love you, Mom” Bisiknya hangat
“Love you too, Pop”
***
Kini, diakhir Januari yang membosankan. Diatas sebuah meja di teras
rumahku, selembar kertas violet dengan ukiran bunga dan harum melati terdampar
santai tak tersentuh. Sebuah undangan pernikahan yang mengukir nama mempelai
pria “aryeL
Adoona”.
Dia kekasihku, belahan jiwaku, lelaki yang selalu ku harapkan menjadi
jodohku, mahluk Tuhan yang paling tampan yang sangat ku cintai dan telah ku
anggap sebagai suamiku. Kini menghianatiku! Dia menikahi seorang wanita bernama
“Amelia Maria
Khatarina” seorang wanita yang
dipilihkan orang tuanya.
Hatiku remuk, cintaku hancur. Dan ku tahu Tuhan tak mengamini do’aku dalam
pesan yang ku tulis untuk-Nya saat malam purnama tempo hari, atau awan dan
gemintang tak menyampaikan sepucuk suratku pada Tuhan? Aku kecewa, kenapa
bahagiaku semu? Padahal sakit yang mendera hidupku sejak 13tahun terakhir ini
kekal. Tak sayang kah Tuhan padaku? Atau memang takdir yang tak adil yang setia
menemaniku? Entahlah, aku terlalu bodoh untuk mengeja makna yang tersirat dalam
hidupku.
Di senja yang tetap indah dengan kemilau lembayung. Aku menutup sebuah
buku yang makin usang, telah cukup banyak penaku menorehkan cerita cinta
aku dan dia. Aku diam menahan sakit yang kembali mendera kepalaku. Aku
tersenyum, ketika sadar dan aku ingat dari fajar terbit hingga senja terbentang
di cakrawala ini sebutir obat pun belum aku telan, padahal menurut Malaikat
yang sering disebut Dokter itu, setiap selang 5 jam harus ada 6 butir obat yang
masuk lewat tenggorokanku.
Aku terpejam. Melayang meninggalkan tubuh rentaku. Bukan karena termakan
usia tapi karena cinta palsu dia dan penyakit sialan yang setia bersemayam di
kepalaku.
Hamparan pasir putih ditepian pantai semakin jauh dibawahku. Raga
yang selama 20 tahun ini menjadi tempat roh ku berlindung, kini tergeletak tak
bernafas di bentangan putih bibir pantai Meting Doeng, dengan seulas senyum manis yang dulu memikat semua
mahluk Tuhan yang memandangnya. Malaikat bersayap membawa ku terbang menembus
kemilau lembayung yang menghias langit senja.
“Selamat tinggal sayang… terima kasih atas cinta yang pernah kau berikan,
untuk bahagia yang selalu kau ciptakan saat bersamaku dulu, dan untuk
penghianatan yang dah kau lakukan, untuk sakit dan kecewa yang kau ajarkan.
Kini aku terbang bersama Malaikat, aku tetap setia menunggumu di Surga. Love
you pop…..”
***The End with Love***
#Hanya sebuah catatan untuk Cinta monyetku yang kembali menjadi CLBK-ku
dan kini menjelma menjadi cinta mati ku yang perlahan membunuh perasaanku. Just
for my pop, ‘aryeL
adN’
*13 Januari 2012
Korban cinta palsumu
MELAND
SENJA
DI LARANTUKA
Sesuatu
yang semprnah yang ada di mata kita,yang kita puja dan sanjung-sanjung,yang
kita banggakan kepada sahabat dan keluarag “akan hilang”. Tidak ada yang akan
sempuranah,tetapi biarkan waktu menghadirkan yang pantas yang
ditakdirkan,sebab yang sempurnah hanyalah gambaran tentang kesempurnaan yang
kita impikan itu,namun Tuhan telah menemptkan yang tidak terbayangkan.maka
jadilah tegar di atas wadas,jaga kakimu,dan tersenyumlah untuk hari esok.
Kupersembahkan cerita ini buat Malaikatku “Malaikat Sunyi” yang ku lahirkan
pada tanggal 03 April 2010.
*Menikmati senja penuh cinta with my pop @Meting Doeng Beach
Itu janjiku saat menikmati senja di Pantai Meting Doeng Beach bersama dia, sosok yang selalu
terlihat sempurna di mataku, yang selalu mampu membuatku menutup mata, telinga,
dsn hati dari rasa sakit karena kekurangan dan ribuan kesalahannya. Dia yang
mampu buatku bertekuk lutut dibawah aturan-aturan dan kekerasan hatinya yang
dia bungkus dengan cinta dan rayuan-rayuan manis dari bibir seksinya. Dia yang
selalu sukses buatku menitikkan butir-butir bening dari sudut mata sipitku. Dan
hanya dia yang mampu buatku tersenyum, tertawa, nyaman, bahagia, serta dalam
sekejap melupakan luka-luka dihati dan ragaku. Ya, aku terpesona senyumnya yang
terlukis manis di wajah yang penuh lekuk-lekuk ketampanan.
Suatu siang yang mendung di awal februari, entah berapa tahun yang lalu.
Aku berjalan dengan mata tetap fokus pada rentetan huruf yang berhimpitan mesra
di lembar buram yang mulai kusut. Ya ini memang hobbyku, berjalan sambil
membaca atau membaca sambil berjalan? Entahlah yang aku tahu dan mulai ku
sadari adalah hobby yang aku lakukan ketika kaki melangkah berjalan dan mata
tetap sibuk membaca. Hahaha (Lupakan ya teman-teman).
Bruuuugh! Suaranya mengagetkanku, eh bukan tergelincir atau jatuh,tapi ada tubuh yang menimpaku yang membuatku
kaget. Aku mencoba bergerak, menggeser tubuhku yang terhimpit tubuhnya. Oupz!
Tubuhnya diatas tubuhku, semua bagian tubuh yang ada disisi depan kami
bersentuhan, aku bisa rasakan detak jantungnya yang makin berdetak keras, aku
rasakan halusnya kulit kami yang saling bergesekan, dan karbondioksida ku
seolah menyatu dengan nafas yang dia hembuskan. Seketika mataku melotot
memandangnya.
“Berat tauuuu, bangun donk!” Bentakku didepan mukanya (maaf, tak ada
adegan romantis ala Norman Kamaru bin India-indiahe)
“Huft, ternyata masih galak aja ya! Kirain udah berubah lembut.” Gerutunya
sambil cemberut
Kami berdiri, merapikan pakaian masing-masing. Aku coba sembunyikan
wajahku yang melukiskan raut terkejut, aku malu kalau dia tahu ada rasa kaget
campur bahagia dihatiku saat bertemu dia lagi. Dia mantan pacarku dulu. Cinta
monyetku,wktu
itu aku masih duduk di bangku sebuah SMK.di sebuah kota kecil di ujung timur
Pulau Flores,tepatnya di Larantuka.!
Kita putus komunikasi karena dia harus pindah ke Kupang, dan saat itu handphone belum marak seperti
sekarang. Alhasil karena masih bocah ingusan yang polos, kandas deh cinta
monyetku. Kini dia berdiri didepanku, bahkan beberapa menit yang lalu tubuhnya
menghimpit tubuhku dan hanya lapisan tipis pakaian ini yang menjadi jeda. Ooooh
rasanya ingin ku ulangi sekali lagi agar pertemuan kami berkesan romantis,
bukan malah cemberut kaya gitu, aah sedikit menyesal (ngelantur).
Langit berhenti menitikan air matanya, pelangi terlukis pias dibentangan
awan putih dengan biru cerah sebagai backgroundnya. Gumpalan awan tersenyum
manis menatapku, burung-burung yang terbang rendah berkicau menggoda
menyaksikan dua pipi cubby bersemu merah, nyiurpun tak henti mengolokku, dan
semua mahluk hidup yang ada di Pantai Meting Doeng seolah ikut
bahagia menyaksikanku bergelayut manja dilengan cinta monyetku.
*Senja ini indah dengan dia yang kembali berdiri santai di sampingku
***
Aku tersenyum, menertawakan ketololanku yang tak pernah sanggup berhenti
mencintainya. Anganku kembali tersangkut di memori manis itu. Pertemuan
pertamaku dengan dia menghasilkan pertemuan kedua, ketiga, keempat dan
seterusnya mungkin sampai pertemuan ke seribu. Ku lewati rentang waktu
bersamanya. Melukiskan kenangan manis dan pahit, namun hanya rasa bahagia yang
terus bergemuruh di rongga dadaku.
Tak perlu waktu lama untuknya dapatkan cintaku kembali, setelah beberapa
hari kami habiskan waktu bersama dengan saling bercerita, dan tak lupa dia
sisipkan rayuan-rayuan gombal ditiap kalimatnya. Aku sadar beberapa ceritanya
hanya rekayasa, bahkan dia sengaja lenyapkan beberapa mantan pacarnya dari
kisah yang sebenarnya dia lalui agar menghasilkan kesan bahwa dia tetap setia
mencintaiku. Ah bulshit! Aku tahu itu hanya trik dia untuk memikatku. Padahal
aku pernah dengar cerita dari temanku kalau dia sempat pacaran dengan beberapa
teman sekolahku dulu. Aku tak bodoh! Tak akan semudah itu dia menipuku, tapi aku
menikmatinya. Aku senang dengar rayuan manisnya yang selalu buat pipiku bersemu
merah jambu.
Dia ungkapkan cintanya dengan sederhana di ujung senja, ketika aku, dia
dan teman-teman bersantai di bibir pantai Meting Doeng. Aku mengangguk, menyatakan kesediaanku kembali menjadi
kekasih hatinya dengan sebuah syarat “Dia mencintai dan menyayangiku sepenuh
hati tanpa membaginya, karena dari kecil impianku adalah menjadi Permaisuri
tanpa selir di Istana Pangeranku” Dia menyanggupi syarat yang aku ajukan, saat
itu juga di atas batu yang menghadap ke laut, dia bersumpah untuk selalu
mencintaiku dan tak akan menyakitiku. Pasir, gulungan ombak, sepoi angin laut,
lembayung senja, awan yang berarak, burung-burung yang terbang pelan, ikan-ikan
yang menggoda wisatawan, batu, karang-karang terjal, pohon-pohon, hewan, dan
wisatawan yang ada di pantai itu menjadi saksi sumpahnya dengan senyum manis
ikut merasakan kebahagiaanku.
Awal yang manis yang selalu ku ingat, untuk menghibur hatiku, ketika
air mataku tak bisa berhenti meski telah ku seka puluhan kali. Tangis ini
karenanya, hanya dia yang mampu menarik air-air bening turun dari dua kantong
tempat mereka berlindung di mata sipitku.
Angan memaksaku tetap terperangkap dalam memori indah bersamanya. Membuat
bibirku menyunggingkan senyum meski air mata ini tak henti mengalir, merasakan
sesak dari rongga dadaku.
Dulu, pantai yang terbentang di sekitar pesisir ujung timur pulau flores, bergiliran kami datangi. Entah kenapa aku dan dia
memilih pantai sebagai kanvas tempat kami melukiskan kisah cinta yang manis
ini. Beberapa pantai menjadi saksi bisu, saat dia memeluk hangat tubuhku, saat
jemarinya membelai lembut rambutku, saat bibirnya tak berhenti mengucapkan
rayuan manis yang membuatku melayang, saat aku bermanja di pundaknya, saat dia
tertidur di pangkuanku, dan saat bibir kami berpagutan mesra di ujung senja.
Hanya pasir, ombak, angin, langit, matahari yang hampir tenggelam, siput, ikan,
burung-burung, nyiur kelapa dan desah nafas yang semakin memburu yang menjadi
saksi-saksi bisu.
Aku bahagia menjadi kekasihnya dan menikmati hari-hari bersamanya, meski
bukan kemewahan yang dia tawarkan, meski bukan tumpukan uang yang dia janjikan.
Gelak tawa selalu terdengar disetiap menit yang kami habiskan. Aku tak pernah
mengeluh dengan kesederhanaan ini. Aku selalu merasa nyaman karena dia tetap
menjagaku, menghangatkanku saat dingin mencumbu kulit halusku. Dia tak pernah
bosan mendongeng untuk mengantarku menjemput mimpi dan dia pun tak pernah lelah
mencium keningku saat kedua mata sipitku kembali terbuka, serta bibirnya tak
pernah absen mengucapkan “Pagi sayang, Love you Mom!” tiap kali menatapku yang
kembali dari alam mimpi.
***
Malam ini purnama begitu indah, seakan tangan Malaikat menabur ribuan
bintang-gemintang dipermadani biru yang menggelap. Dari balik jendela kamar, ku
saksikan panorama yang sangat mempesona. Rinduku kembali menggebu, andai suatu
hari nanti aku bisa nikmati indahnya purnama berdua bersamanya sambil berbaring
bergulung-gulung manja dipasir pantai yang basah.
Ku goreskan pena diatas selembar kertas putih. Ingin kutitipkan secarik
surat pada awan dan gemintang.
Dear God, Allah dan
Yesus
Tuhan, aku bahagia! Terima kasih untuk alur cerita yang telah engkau
takdirkan dihidupku. Terima kasih untuk semua cinta di setiap hembusan nafasku.
Aku mohon jangan ubah kebahagiaan ini. Aku ingin tetap tersenyum disampingnya,
ingin tetap bermanja dipeluknya, ingin tetap merasakan desah nafasnya
ditelingaku. Sumpah aku tak rela wanita lain memilikinya. Aku ingin menjadi
jodohnya. Aku sangat berharap aku lah tulang rusuk yang kau ambil dari susunan
tulang ditubuhnya dan hanya bersamaku lah kesempurnaan kan tercipta. Aku
mencintainya dan hanya ingin hidup bersamanya.
***
Aku harap awan dan bintang gemintang sudi menyampaikan pesanku pada Tuhan,
dan semoga hembusan angin malam ini tak memudarkan segumpal rindu yang ku
tititpkan untuknya. Semoga Tuhan pun bersedia meng-amien’i do’a ku.
Sepoi angin membelai wajahku lembut, bagai jemari malaikat yang menyimpan
ribuan kasih sayang ditiap buku-buku jarinya. Ku hirup nafas dalam dan
menghembuskannya dengan perlahan, kembali memejamkan kedua mata sipitku,
mencoba membayangkan ada pelukannya yang akan menghangatkanku. Detak jantungku
semakin kencang seirama dengan desah nafas yang kian tak beraturan keluar masuk
lewat kerongkonganku.
Kerlip bintang seolah menggodaku, mengajakku terbang dan menari menuju
hamparan gemintang yang menyilaukan. Aku tersenyum bagai gadis kecil yang
dibuai mimpi-mimpi manis.
***
Cinta suci yang selama ini aku agungkan, kesempurnaan dia yang tiap menit
aku banggakan, ternyata kini menghujamku. Cinta yang ku anggap membahagiakanku
ternyata perlahan semakin membunuhku. Menyayat kulit tipis yang selimuti
hatiku, menusuk relung-relung cintaku dan sangat kejam mencabik mimpi-mimpi
indah yang ku gantungkan bersamanya.
Dia menodai cintaku, dia nodai harapan tulusku, dan dia pun tega nodai
tubuhku. Dia nodai aku yang dulu selalu di jaga. Seketika remuk rasa kagumku
padanya. Dia pecundang! Banci, pengecut yang bersembunyi dibalik lekuk-lekuk
ketampanan. Aku kecewa! Dan sekuat hati mencoba membencinya. Meski kenyataan
yang ku dapat, aku tak pernah mampu menghapusnya dari ingatanku.
Diawal februari, entah ditahun keberapa setelahku kembali menjadi
kekasihnya. Dia mengajakku berlibur ke satu kota kecil diujung timur pulau Flores. Kami menikmati liburan yang
romantis ini dengan bahagia. Kemesraan selalu terpancar lewat gemulai lembut
ragaku dan dia. Bak sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Senja yang indah seperti senja-senja yang telah ku lewati bersamanya. Aku
masih bermanja dalam peluknya. Entah pada menit ke berapa kami bergumul mesra
diatas pasir putih pantai yang masih perawan ini yang setiap harinya tak banyak
wisatawan yang mengunjungi.
Nafas kami memburu merasakan gejolak yang menggebu yang kini menjalar ke
seluruh tubuh lewat aliran darah dan denyut nadi. Aku sadar ini adalah dosa
besar, tapi anehnya aku tetap menikmati sensasi menggelitik yang dahsyat
diubun-ubunku. Ku pacu seluruh tenagaku untuk terus mendaki puncak-puncak
Surga.
Ciumannya penuh nafsu yang dipenuhi para Iblis. Pelukannya menguat
menghapus jeda norma yang makin samar. Jemarinya menggelitik liar membelai tiap
lekuk tubuh mulusku. Sorak-sorai setan menyemangati kesesatan yang kami
lakukan. Desahan dan peluh yang kami hasilkan seperti rangsangan kepada setan
untuk membawa kami terbang menuju lapisan langit tertinggi sebelum melemparkan
kami ke jurang Neraka penuh kenistaan.
Senja yang indah saat ini, telah ternoda oleh cairan bening yang bersemu
merah, darah perawanku. Aku menangis, menyesali perubahan yang terjadi begitu
cepat dihidupku. Hanya dalam hitungan menit semua berubah, namun aku tetap
berharap cintanya untukku tak akan berubah dan dia tetap jadi sosok yang selalu
menyayangi sebagai belahan jiwanya.
Jemarinya menyeka butir bening yang masih mengalir dari sudut mata
sipitku. Lembut, tanpa nafsu yang tadi selimuti kami. Perlahan dibawanya
tubuhku ke dalam pelukannya, dibelai tiap helai rambutku yang basah oleh peluh.
Bibirnya mengecup keningku pelan. Seperti ada ribuan kata yang ia titipkan
lewat kecupan itu. Bibirnya perlahan bergeser menuju relung telingaku dan ku
dengar selarik bisiknya.
“Love you, Mom” Bisiknya hangat
“Love you too, Pop”
***
Kini, diakhir Januari yang membosankan. Diatas sebuah meja di teras
rumahku, selembar kertas violet dengan ukiran bunga dan harum melati terdampar
santai tak tersentuh. Sebuah undangan pernikahan yang mengukir nama mempelai
pria “aryeL
Adoona”.
Dia kekasihku, belahan jiwaku, lelaki yang selalu ku harapkan menjadi
jodohku, mahluk Tuhan yang paling tampan yang sangat ku cintai dan telah ku
anggap sebagai suamiku. Kini menghianatiku! Dia menikahi seorang wanita bernama
“Amelia Maria
Khatarina” seorang wanita yang
dipilihkan orang tuanya.
Hatiku remuk, cintaku hancur. Dan ku tahu Tuhan tak mengamini do’aku dalam
pesan yang ku tulis untuk-Nya saat malam purnama tempo hari, atau awan dan
gemintang tak menyampaikan sepucuk suratku pada Tuhan? Aku kecewa, kenapa
bahagiaku semu? Padahal sakit yang mendera hidupku sejak 13tahun terakhir ini
kekal. Tak sayang kah Tuhan padaku? Atau memang takdir yang tak adil yang setia
menemaniku? Entahlah, aku terlalu bodoh untuk mengeja makna yang tersirat dalam
hidupku.
Di senja yang tetap indah dengan kemilau lembayung. Aku menutup sebuah
buku yang makin usang, telah cukup banyak penaku menorehkan cerita cinta
aku dan dia. Aku diam menahan sakit yang kembali mendera kepalaku. Aku
tersenyum, ketika sadar dan aku ingat dari fajar terbit hingga senja terbentang
di cakrawala ini sebutir obat pun belum aku telan, padahal menurut Malaikat
yang sering disebut Dokter itu, setiap selang 5 jam harus ada 6 butir obat yang
masuk lewat tenggorokanku.
Aku terpejam. Melayang meninggalkan tubuh rentaku. Bukan karena termakan
usia tapi karena cinta palsu dia dan penyakit sialan yang setia bersemayam di
kepalaku.
Hamparan pasir putih ditepian pantai semakin jauh dibawahku. Raga
yang selama 20 tahun ini menjadi tempat roh ku berlindung, kini tergeletak tak
bernafas di bentangan putih bibir pantai Meting Doeng, dengan seulas senyum manis yang dulu memikat semua
mahluk Tuhan yang memandangnya. Malaikat bersayap membawa ku terbang menembus
kemilau lembayung yang menghias langit senja.
“Selamat tinggal sayang… terima kasih atas cinta yang pernah kau berikan,
untuk bahagia yang selalu kau ciptakan saat bersamaku dulu, dan untuk
penghianatan yang dah kau lakukan, untuk sakit dan kecewa yang kau ajarkan.
Kini aku terbang bersama Malaikat, aku tetap setia menunggumu di Surga. Love
you pop…..”
***The End with Love***
#Hanya sebuah catatan untuk Cinta monyetku yang kembali menjadi CLBK-ku
dan kini menjelma menjadi cinta mati ku yang perlahan membunuh perasaanku. Just
for my pop, ‘aryeL
adN’
*13 Januari 2012
Korban cinta palsumu
MELAND
Langganan:
Postingan (Atom)